Presiden Indonesia ke-7, Joko Widodo, memiliki pandangan yang sangat menarik terkait pasal penghinaan terhadap presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru. Meskipun pasal tersebut kini menjadi bagian dari rencana hukum yang akan berlaku pada Januari 2026, Jokowi pernah mengutarakan ketidaksetujuannya terhadap pasal ini.
Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej, menjelaskan bahwa Jokowi merasa tidak perlu ada perlindungan hukum khusus terhadap dirinya sebagai presiden. Dalam pandangannya, hinaan terhadapnya sebagai seorang kepala negara tidak perlu direspon dengan hukum yang ketat.
Hal ini mengindikasikan bahwa Jokowi memiliki sikap yang cukup terbuka dan percaya diri terhadap kritik. Dalam situasi ini, tidak jarang tokoh politik di negara lain memilih untuk memperkuat posisi mereka melalui hukum yang ketat.
Perdebatan Mengenai Pasal Penghinaan dalam KUHP Baru
Pembahasan mengenai pasal penghinaan terhadap presiden dalam KUHP baru menciptakan banyak diskusi di kalangan masyarakat dan ahli hukum. Beberapa pihak berpendapat bahwa pasal ini seharusnya dihapus untuk mendorong kebebasan berbicara yang lebih liberal.
Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa pasal tersebut penting untuk menjaga martabat institusi kepresidenan. Dalam konteks ini, argumen-argumen yang muncul memunculkan pertanyaan mendalam mengenai keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap jabatan publik.
Berdasarkan pernyataan Eddie Hiariej, ada kekhawatiran bahwa pasal tersebut bisa disalahgunakan untuk mengekang kritik yang sah. Hal ini menjadi isu yang sangat relevan dalam demokrasi, di mana kritik merupakan bagian penting untuk menjaga akuntabilitas penguasa.
Pandangan Joko Widodo Tentang Hinaan dan Kehormatan
Joko Widodo mencerminkan sikap yang berbeda dari banyak pemimpin dunia lainnya. Alih-alih merasa terancam, ia justru menganggap hinaan sebagai bagian dari kritik yang wajar dan perlu dihadapi. Ini menunjukkan sebuah kepemimpinan yang lebih menekankan pada dialog ketimbang hukum represif.
Dalam konteks kepemimpinannya, Jokowi menjelaskan bahwa dia tidak setuju dengan hukuman berat bagi mereka yang menghina presiden. Dengan kata lain, dia lebih memilih pendekatan yang memfasilitasi komunikasi terbuka antara masyarakat dan pemerintah.
Ini adalah sikap yang bisa jadi memberi inspirasi bagi banyak pemimpin yang mengalami tantangan serupa. Sebuah kepemimpinan yang inklusif dapat mempromosikan masyarakat sipil yang lebih aktif dan berdaya.
Konsekuensi Dari Pasal Hukum yang Baru Dalam KUHP
Penerapan pasal penghinaan ini mungkin memiliki dampak jangka panjang bagi cara masyarakat berinteraksi dengan pemerintah. Beberapa analisis menunjukkan bahwa hal ini bisa menurunkan partisipasi publik dalam hal pemerintahan jika kritik dianggap berisiko.
Selain itu, ada pula kekhawatiran bahwa pasal ini dapat menciptakan atmosfer ketakutan di kalangan jurnalis dan aktivis. Dalam situasi seperti itu, kemandekan dalam pertukaran ide bisa menjadi masalah serius bagi perkembangan demokrasi.
Dengan kata lain, pembentukan hukum yang merespons dengan baik dinamika sosial menjadi semakin penting. Jika masyarakat tidak merasa bebas untuk menyampaikan pandangan mereka, pembangunan sosial dan politik bisa terhambat.












