Polda Jawa Barat baru-baru ini resmi menetapkan Muhammad Adimas Firdaus Putra Nasihan, yang dikenal sebagai YouTuber Resbob, sebagai tersangka dalam kasus ujaran kebencian yang berkaitan dengan isu SARA. Penetapan ini terjadi setelah penyidik melakukan investigasi mendalam, mencakup hasil penangkapan, pemeriksaan sejumlah saksi, serta analisis dari keterangan para ahli.
Kapolda Jawa Barat, Irjen Pol Rudi Setiawan, mengungkapkan bahwa penetapan tersangka didasarkan pada alat bukti yang kuat, termasuk barang bukti dan keterangan dari saksi. Proses ini menunjukkan ketegasan pihak kepolisian dalam menangani kasus yang sensitif ini.
Dalam penyelidikan yang berlangsung, polisi menemukan bahwa tersangka berpindah-pindah lokasi untuk menghindari penangkapan. Resbob sempat terpantau berada di berbagai kota, termasuk Surabaya dan Semarang, sebelum akhirnya berhasil diamankan di wilayah Ungaran, Kabupaten Semarang.
Pihak kepolisian, setelah menjalani proses penangkapan, membawa tersangka ke Jakarta untuk kemudian dibawa ke Polda Jawa Barat guna menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Penangkapan ini dilakukan setelah dianggap memenuhi unsur untuk melakukan tindakan paksa berdasarkan bukti yang ada.
Atas dugaan perbuatannya, Resbob dijerat dengan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45A ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta pasal berkenaan lainnya. Menurut Rudi, ancaman hukuman yang menanti pelaku bisa mencapai enam tahun penjara, dan dalam keadaan tertentu, hukuman ini dapat ditingkatkan hingga sepuluh tahun.
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa motif utama di balik tindakan tersangka berkaitan dengan aktivitasnya sebagai seorang live streamer. Resbob diketahui mendapatkan keuntungan finansial dari saweran yang diterimanya selama siaran berlangsung, yang secara tidak langsung mendorongnya untuk membuat konten yang provokatif.
Pihak kepolisian mencatat bahwa tersangka sangat menyadari potensi viral dari konten yang diciptakannya. Dengan viralnya konten tersebut, jumlah penonton akan meningkat, yang pada akhirnya akan menambah jumlah saweran yang diterima.
Motif ekonomi yang mendasari tindakan ini semakin memperkuat dugaan unsur pidana yang ada, mengingat adanya kesengajaan dalam mentransmisikan konten yang mengandung kebencian. Ini menunjukkan bahwa tindak kejahatan tidak hanya bersifat individual, namun juga berkaitan dengan keuntungan yang ia peroleh.
Polisi juga tidak menutup kemungkinan adanya keterlibatan pihak lain dalam kasus ini. Mereka masih mendalami hubungan antara Resbob dan pihak-pihak yang diduga mungkin turut membantu penyebaran atau repost konten tersebut. Pihak kepolisian memastikan akan menindaklanjuti setiap temuan yang relevan.
Sampai saat ini, tersangka belum menerima kunjungan dari anggota keluarga atau perwakilan lainnya. Proses penyidikan masih berlangsung, mencakup pendalaman terhadap barang bukti yang telah dikumpulkan oleh penyidik.
Konten Berpotensi Viral dan Kegaduhan di Media Sosial
Resbob ditetapkan sebagai tersangka setelah konten yang diunggah di YouTube dianggap mengandung ujaran kebencian terhadap masyarakat Sunda. Konten tersebut dengan jelas dinilai menghina masyarakat serta kelompok suporter Persib Bandung, Viking, yang merupakan komunitas pendukung aktif.
Dari informasi yang dihimpun, laporan terhadap Resbob diajukan oleh kelompok pendukung Persib dengan nomor LP/B/674/XII/2025/SPKT/Polda Jawa Barat pada tanggal 11 Desember 2025. Ini menandakan adanya kepedulian dari masyarakat tentang dampak buruk yang bisa ditimbulkan dari ujaran kebencian tersebut.
Selain itu, laporan juga masuk dari elemen masyarakat lainnya yang beroperasi di bawah payung Rumah Aliansi Sunda Ngahiji, dengan nomor laporan 2021/XII/RES.2.5./2025/Ditressiber atas nama pelapor Deni Suwardi. Hal ini menunjukkan bahwa isu yang diangkat tidak hanya mengganggu satu kelompok, melainkan melibatkan sejumlah elemen masyarakat yang lain.
Respons masyarakat terhadap kasus ini sangat beragam. Ada yang merasa bahwa tindakan hukum ini perlu dilakukan untuk menegakkan keadilan, sementara yang lain menyoroti kebebasan berekspresi di ruang digital. Perdebatan mengenai batasan dalam berkarya di media sosial menjadi semakin marak di tengah masyarakat.
Berkaca dari kasus ini, penting untuk mempertimbangkan betapa krusialnya memahami dampak dari konten digital. Di zaman serba konektif, pesan yang disampaikan melalui platform online dapat dengan cepat menyebar, memicu reaksi beragam dari publik dan menciptakan suasana ganas jika tidak dikelola dengan bijak.
Implikasi Hukum dan Sosial dari Kasus Ini
Kasus Resbob bukan hanya sekadar masalah hukum, tetapi juga menyentuh aspek sosial yang lebih luas. Ini menjadi sebuah pengingat bagi kreator konten agar lebih bijaksana dalam menyampaikan pendapat atau gagasannya di ranah publik.
Upaya penegakan hukum dalam kasus ini membuka kesempatan dialog lebih lanjut tentang tanggung jawab pengguna media sosial. Mengedukasi publik tentang dampak positif dan negatif dari media sosial menjadi kunci untuk mencegah kasus serupa di masa depan.
Pihak kepolisian melalui kasus ini juga menunjukkan bahwa mereka tetap responsif terhadap laporan masyarakat. Hal ini diharapkan bisa meningkatkan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan ujaran kebencian. Masyarakat diharapkan lebih aktif melaporkan jika menemukan konten yang merugikan.
Penting juga untuk diingat bahwa setiap individu memiliki hak untuk berpendapat, namun hal tersebut harus dilakukan dengan cara yang tidak merugikan orang lain. Oleh karena itu, edukasi tentang nilai-nilai toleransi dan pengertian antar kelompok menjadi penting sebagai langkah preventif.
Kedepannya, kita perlu bersama-sama menciptakan ruang digital yang lebih sehat, di mana keberagaman pandangan bisa dihargai tanpa harus mengarah pada ujaran kebencian atau konflik. Proses edukasi ini tidak hanya tanggung jawab pemerintah atau instansi terkait, tetapi juga masyarakat umum dan para kreator konten.
Peran Media Sosial dalam Menghadapi Kasus Ujaran Kebencian
Media sosial memegang peranan penting dalam menyebarluaskan konten, namun juga dapat menjadi sarana untuk memperdalam perpecahan. Dalam kasus Resbob, viralnya konten yang dianggap menyinggung kelompok tertentu menunjukkan bagaimana algoritma media sosial dapat berkontribusi dalam memperburuk situasi.
Sebagai pengguna, penting untuk memahami bagaimana konten yang kita buat dan konsumsi dapat berdampak. Edukasi tentang penggunaan media sosial yang bijak sangat diperlukan, tidak hanya bagi orang dewasa tetapi juga anak muda yang lebih rentan terhadap pengaruh negatif.
Kreator konten diharapkan tidak hanya memikirkan seberapa banyak audiens yang bisa diraih, tetapi juga tanggungjawab moral terhadap dampak yang bisa ditimbulkan. Konten yang diciptakan seharusnya tidak hanya menjadi sumber hiburan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai positif dalam masyarakat.
Penting untuk menciptakan sebuah ekosistem di mana semua orang merasa aman untuk berpendapat, tanpa harus mengkhawatirkan sikap intoleransi atau pernyataan yang memicu kebencian. Dengan melakukan itu, kita bisa memanfaatkan kekuatan media sosial untuk hal-hal yang konstruktif.
Kita berada di era di mana komunikasi digital telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pengelolaan konten yang cerdas dan arif dari semua pengguna diharapkan dapat mengurangi potensi konflik, menuju masyarakat yang lebih harmonis.












