Kasus penculikan yang melibatkan Bilqis Ramadhani, seorang balita berusia empat setengah tahun, mengungkap sisi kelam dari perdagangan anak di Indonesia. Kasus ini terjadi di Makassar, di mana Bilqis ditemukan setelah hilang dan terdengar kabar bahwa ia diculik dengan modus adopsi ilegal di Jambi.
Kepolisian Sulawesi Selatan, diwakili oleh Kapolda Irjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro, mengungkapkan rincian penting tentang struktur jaringan yang terlibat dalam kasus ini. Keterlibatan orang-orang seperti NH dan MA dalam aktivitas tersebut menunjukkan adanya sistematisasi yang memprihatinkan dalam praktik jual beli anak.
Mengungkap Jaringan Perdagangan Anak di Indonesia
Kepolisian menangkap tersangka NH, yang diketahui merupakan warga Sukoharjo. Dia terlibat aktif dalam proses adopsi ilegal sejak Mei 2025, menggunakan media sosial sebagai sarana untuk menarik perhatian calon orang tua angkat.
Dalam penyelidikan, terungkap bahwa NH telah dua kali menjadi perantara antara bayi dan calon orang tua angkat. Imbalan yang diterima NH untuk setiap adopsi berkisar antara satu hingga dua juta rupiah, menunjukkan betapa rendahnya nilai kemanusiaan dalam perdagangan anak seperti ini.
MA, tersangka lain dalam kasus ini, bertugas sebagai pembeli dan kemudian menjual kembali bayi ke kelompok yang sama sekali berbeda. Dengan tindakan ini, MA telah menciptakan sirkulasi bisnis yang mempermalukan martabat dan hak anak sebagai individu.
Dampak Penculikan dan Penjualan Anak Terhadap Keluarga
Penyelidikan lebih jauh menunjukkan bahwa MA terlibat dalam setidaknya tujuh transaksi jual-beli bayi dalam rentang waktu Agustus hingga September 2025. Hal ini menunjukkan bahwa praktik ini bukanlah kasus isolasi, melainkan suatu industri gelap yang telah berlangsung cukup lama.
Pembelian bayi dilakukan dengan harga yang bervariasi, dari Rp16 juta hingga Rp22 juta, dan kemudian dijual kembali dengan harga lebih tinggi. Praktik ini menciptakan kerugian moral bagi para orang tua yang kehilangan anak-anak mereka.
Pihak kepolisian juga menemukan bahwa ada sembilan anak yang merupakan korban dalam jaringan tersebut. Setiap kasus penculikan menambah beban psikologis yang mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan, yang sering kali tidak tahu apa yang terjadi dengan anak mereka.
Strategi Penegakan Hukum dan Penanganan Kasus
Kapolda Sulsel menekankan bahwa penyidikan masih berlangsung dan fokus pada menambah jumlah tersangka. Pendalaman kasus ini melibatkan kolaborasi berbagai tim dari berbagai institusi kepolisian, termasuk Bareskrim Polri dan Direktorat PPA-PPO.
Dari hasil penyidikan, muncul indikasi bahwa jaringan ini tidak hanya beroperasi di Jambi, tetapi juga melibatkan daerah lain seperti Sukoharjo, Yogyakarta, dan Jakarta. Hal ini memperlihatkan bahwa perdagangan anak memiliki cakupan yang sangat luas dan harus menjadi perhatian serius.
Tim penyidik kini sedang melakukan pendalaman dari setiap titik jaringan yang ada. Pihak kepolisian memastikan bahwa seiring dengan proses penyidikan, mereka akan melakukan penangkapan terhadap individu-individu yang diduga terlibat dalam jaringan ini.
Kesadaran Masyarakat dan Upaya Pencegahan
Kasus penculikan dan perdagangan anak seperti ini menuntut adanya kesadaran yang tinggi dari masyarakat. Pendidikan terhadap masyarakat tentang modus-modus yang digunakan untuk menculik anak sangat penting untuk mencegah hal serupa terjadi.
Ketika masyarakat memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai risiko penculikan, mereka dapat lebih waspada dan melindungi anak-anak mereka. Upaya pencegahan harus didukung oleh pemerintah dan lembaga terkait untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi anak-anak.
Penyuluhan dan kampanye sosial mengenai bahaya penculikan anak juga perlu digencarkan. Ini bukan hanya menjadi tanggung jawab polisi, namun juga merupakan kewajiban semua pihak untuk bersama-sama menjaga masa depan anak-anak kita.












